Minggu, 26 Juni 2011

PEMBELAJARAN MATEMATIKA ALTERNATIF

 

Matematika, bagi sebagian besar anak didik, merupakan mata pelajaran yang dianggap paling sulit, paling membosankan dan tak jarang juga dianggap sebagai mata pelajaran yang paling menakutkan. Bahkan belakangan dianggap memberi andil paling besar bagi ketidaklulusan siswa dalam mengikuti ujian nasional.

Munculnya persepsi negatif terhadap pelajaran matematika itu sejatinya memotivasi guru matematika untuk selalu mencari terobosan-terobosan baru agar pembelajaran matematika dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu harus diupayakan berbagai alternatif metode dan strategi pembelajaran yang lebih efektif sebagai solusi untuk menjadikan matematika sebagai mata pelajaran yang mudah dan disenangi anak didik.
Paradigma pembelajaran di kelas dewasa ini telah mengalami pergeseran orientasi. Semula, orientasi pembelajaran itu tidak lebih sekedar penyampaian informasi kepada peserta didik. Namun sekarang, pembelajaran lebih diutamakan untuk menggali potensi peserta didik, sehingga memancar pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan keterampilannya (psikomotor). Strategi yang digunakan pun tidak lagi sekedar pemberian materi, tetapi juga menstimulasi peserta didik agar mampu merumuskan sendiri konsep-konsep yang dipelajarinya. Adanya pergeseran paradigma itu mejadikan peran guru di kelas berubah, dari peran yang hanya penyampai informasi (transformator) kepada peran sebagai perantara (fasilitator dan mediator). Dengan kata lain, pergeseran dari “teacher centered” ke “student centered“.
Oleh karena itu, untuk mengukuhkan peran guru sebagai fasilitator dan mediator dalam pembelajaran matematika, salah satu model pembelajaran alternatif yang banyak dikembangkan sekarang adalah Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) dengan pendekatan Konstruktivisme. Konsep mendasar dari pendekatan ini adalah bahwa pengetahuan itu tidak dapat dialihkan dari fikiran guru ke fikiran siswa secara utuh, tetapi siswa membangun sendiri pengetahuan di dalam fikirannya (struktur kognitifnya).
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme ini berlangsung dalam tiga tahap, yaitu eksplorasi, pengenalan konsep dan aplikasi konsep. Ketiga tahap ini berjalan secara siklus.
Pada tahap eksplorasi, materi atau keterampilan baru diperkenalkan dengan mengkaitkannya pada pengetahuan yang sudah ada pada siswa melalui apersepsi dan memotivasi siswa dengan menjelaskan pentingnya materi tersebut untuk kehidupan mereka di masa mendatang. Pada tahap pengenalan materi, siswa dilibatkan secara aktif untuk merumuskan konsep-konsep melalui pemecahan masalah (problem solving), sehingga siswa dapat membangun pengetahuannya sendiri dan diharapkan dari tahap ini mereka dapat merumuskan konsep-konsep kunci dari materi tersebut. Kemudian pada tahap aplikasi, siswa dapat membangun sendiri sikap dan prilaku yang baru berdasarkan pengertian yang sudah dipelajarinya, sehingga terjadi perubahan pada sikap dan perbuatannya (life skill).
Pendekatan konstruktivisme ini memang tidak mudah diterapkan, terlebih bila model pembelajaran yang digunakan oleh guru tidak mengarah dan mendukung pendekatan tersebut. Apalagi bila peran guru masih dominan dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, harus dipilih tipe model pembelajaran kooeperatif yang dapat dikombinasikan dan pendekatan konstruktivisme tersebut. Salah satu alternatif tipe dari model pembelajaran kooperatif adalah tipe JIGSAW (Kelompok Ahli), sebagaimana yang dikembangkan oleh Aronson, Blaney, Stephen, Stikes dan Snapp (1978).
Tipe Jigsaw ini pada intinya bertujuan agar siswa bersama kelompoknya dapat merumuskan sendiri konsep-konsep dari materi yang sedang dibahas, baik dalam bentuk sub-materi yang diberikan kepada masing-masing kelompok, maupun dalam bentuk soal-soal. Langkah-langkah model pembelajaran JIGSAW ini diantaranya adalah :
  1. Siswa dikelompokkan ke dalam beberapa tim, masing-masing sebanyak 4 – 5 orang
  2. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi (soal) yang berbeda untuk dibahas/diselesaikan
  3. Anggota dari tim yang berbeda yang telah mempelajari bagian/sub bab (soal) yang sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan sub bab (jawaban soal) mereka
  4. Setelah selesai diskusi sebagai kelompok ahli, tiap anggota kembali ke kelompok asal dan bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang sub bab (jawaban soal) yang mereka kuasai dan tiap anggota lainnya mendengarkan dengan sungguh-sungguh
  5. Salah seorang anggota dari tiap-tiap kelompok ahli mempresentasikan hasil diskusinya
  6. Guru memberi evaluasi/meluruskan pemahaman siswa bila ada yang keliru.
Melalui model pembelajaran Jigsaw ini, secara kooperatif siswa dapat dengan mudah untuk mengkonstruksi sendiri materi yang sedang dibahas, sehingga diharapkan hasil rumusan dari materi tersebut akan lebih bermakna dan langgeng dalam pikiran mereka.
Keuntungan mengkombinasikan model pembelajaran tipe JIGSAW dengan pendekatan konstruktivisme ini adalah siswa bisa lebih banyak berperan dibandingkan dengan guru, terlebih melatih mereka untuk kerjasama dan saling ketergantungan satu sama lainnya. Dengan demikian hasil pembelajaran yang diperoleh dapat lebih optimal. Lebih jauh lagi, mata pelajaran matematika tidak dianggap sebagai mata pelajaran yang paling sulit, paling membosankan, paling menakutkan, dan berbagai sebutan negatif lainnya.
Explore posts in the same categories: Pendidikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar